LAPORAN PRAKTIKUM
EKOLOGI
UMUM
PERCOBAAN
V
INDEKS
PERBANDINGAN SUKENSIAL KEANEKARAHAMAN BENTOS DI EKOSISTEM PERAIRAN
NAMA : NUR SAKINAH
NIM :
H41112293
KELOMPOK : 1 (SATU) B
HARI/TANGGAL : KAMIS/ 23 MEI 2013
ASISTEN : SUWARDI
NURUL QALBY
LABORATORIUM
ILMU LINGKUNGAN DAN KELAUTAN
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA
DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS
HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
BAB
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Secara Astronomis, Indonesia terletak
pada 6 LU - 110 LS dan 950 BT - 1410 BT. Artinya, Indonesia terletak di daerah
iklim tropis karena terdapat di antara 23½0 LU dan 23½0 LS, ciri-ciri daerah
tropis antara lain memiliki temperatur udara cukup tinggi, yaitu 26 0C - 28 0C,
curah hujan pun cukup tinggi, yaitu 700 - 7.000 mm/tahun dan tanahnya subur
karena proses pelapukan batuan cukup cepat. Untuk kekayaan hewan, Indonesia
memiliki jumlah keragaman yang tinggi dibandingkan negara-negara lain (Rahma, 2006).
Keanekaragaman
hayati atau “biodiversitas” menunjukkan sejumlah variasi yang ada pada makhluk
hidup baik variasi gen, jenis dan ekosistem yang yang di suatu lingkungan
tertentu. Keanekaragaman hayati yang ada di bumi kita ini merupakan hasil
proses evolusi yang sangat lama, sehingga melahirkan bermacam-macam makhluk
hidup. Keanekaragaman hayati dapat dikelompokkan atas keanekaraman gen,
jenis dan ekosistem (Rahma, 2006).
Menurut Thornton et al. (1990) produsen
primer di sungai, danau, dan waduk terdiri dari fitoplankton, bakteri, alga
bentik (perifiton), dan makrofita. Pada kondisi perairan berarus perifiton
lebih berperan sebagai produsen primer, sedangkan fitoplankton cenderung lebih
dominan peranannya pada sungai yang dalam dan besar (Awaluddin, 1999). Oleh
karena itu Percobaan ini dilakukan untuk memberikan gambaran
tentang pemanfaatan bentos sebagai indikator kualitas perairan, khususnya pada
wilayah danau Universitas Hasanuddin. Adapun hal-hal yang dikemukakan
meliputi pengertian bentos, faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan bentos,
pemanfaatan bentos sebagai indikator kualitas perairan pesisir, dan spesies
indikator.
1.2
Tujuan
Praktikum
Adapun tujuan dari praktikum
ini yaitu:
1.
Untuk mengetahui keragaman bentos dalam
ekosistem perairan berdasarkan indeks
perbandingan sukensial
2.
Mengenalkan dan melatih keterampilan
mahasiswa dalam menggunakan peralatan yang berhubungan dengan keragaman bentos
dalam perairan
1.3 Waktu
dan Tempat Praktikum
Percobaan Indeks Perbandingan
Sukensial Keanekaragaman Bentos Di Ekosistem Perairan dilaksanakan pada hari Selasa, tanggal 02 April 2013 pukul 15.00-17.30 WITA, di Laboratorium Biologi Dasar, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Hasanuddin, Makassar. Pengambilan
sampel dilaksanakan pukul 06.00-07.30 di sekitar Danau Universtas Hasanuddun.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
Ekosistem merupakan suatu sistem di alam dimana terdapat hubungan timbal balik antara organisme dengan organisme lainnya. Ekosistem sifatnya tidak tergantung ukuran tetapi ditekankan pada kelengkapan komponennya. Berdasarkan atas habitatnya, ekosistem dibedakan menjadi ekosistem darat (terestrial) dan ekosistem perairan (akuatik). Komponen-komponen suatu ekosistem perairan dapat dikenal berdasarkan cara hidupnya yaitu bentos, perifiton, plankton, nekton dan neston. Salah satu komponen yang memiliki variasi organisme yang cukup banyak dalam suatu perairan sangat ditentukan pula oleh jenis substrat dasar, makin bervariasi substrat, makin bervariasi pula organisme yang dapat hidup di dalamnya. Umumnya organisme yang termasuk bentos didominasi oleh hewan-hewan dari kelompok gastropoda, bivalvia, crustaceae, dan annelida (Umar, 2013).
Ekosistem perairan dibagi dalam tiga kategori utama yaitu ekosistem air
tawar, esturia dan ekosistem air laut. Ekosistem air laut sangat penting bagi
kehidupan manusia. Samudera yang menutupi sebagian permukaaan bumi berperan
dalam mengatur iklim bumi, atmosfer dan tempat berlangsungnya siklus mineral.
Ekosistem esturia merupakan zona peralihan antara air tawar dan air laut yang
memiliki sifat tersendiri (Soegianto, 2004).
Penggolongan
ekologi yang didasarkan pada bentuk kehidupan atau kebiasaan hidup, (Setiadi,1989)
yaitu :
1.
Plankton
Plankton adalah organisme yang pergerakannya diatur oleh arus perairan.
Cara ideal untuk mempelajari plankton merupakan cara yang tidak hanya
memperkirakan jumlah makhluk hidup, namun juga suatu konsentrasi spesies sangat
berbeda dalam ukuran. Umumnya plankton hewan
(zooplankton) lebih besar daripada plankton tumbuhan (fitoplankton).
Beberapa fitoplankton mempunyai ukuran kurang dari 1/100 mm dan dapat lolos
dari jarring-jaring plankton terhalus. Bentuk plankton seperti ini disebut
sebagai nano plankton. Bentuk lebih besar yang tertahan oleh jarring-jaring
plankton standar disebut plankton jaring atau plankton tersaring
2.
Bentos
Bentos merupakan beragam binatang dan tumbuhan yang hidup pada dasar
perairan. Nama bentos diberikan pada organisme penghuni dasar. Harus
benar-benar diketahui bahwa istilah “bentos” mencakup substrat pada garis
pantai, demikian juga kedalaman terbesar dari badan air. Seperti dapat
diharapkan, kondisi untuk kehidupan akan beragam tidak hanya pada kedalaman
yang berbeda, namun juga dengan sifat fisik substrat, keragama demikian hanya
beberapa sifat dapat diketahui. Hewan bentos dibagi berdasarkan cara makannya,
yaitu pemakan penyaring, seperti kerang dan pemakan deposit seperti siput.
3. Nekton
Nekton adalah organisme yang dapat bergerak dan berengan dengan kemauan
sendiri
4.
Neuston
Neuston
adalah organisme yang beristirahat dan pada permukaan perairan
5.
Perifiton
Perifiton atau lebih tepat aufwuchs adalah nama yang diberikan pada
kelompok berbagai organisme yang tumbuh atau hidup pada permukaan bebas yang
melayang dalam air seperti tanaman, kayu, batu dan permukaan yang menonjol
Bentos
merupakan organisme yang mendiami dasar perairan dan tinggal di dalam atau pada
sedimen dasar perairan. Payne, (1989) dalam Sinaga, (2009) menyatakan bahwa
makrozoobentos adalah hewan yang sebagian atau seluruh hidupnya berada di dasar
perairan, baik sesil, merayap maupun menggali lubang. Berdasarkan cara
hidupnya, bentos di bedakan atas 2 kelompok yaitu: infauna dan epifauna (Barnes
dan Mann, 1994 dalam Sinaga, 2009). Infauna adalah kelompok makrozoobentos yang
hidup terbenam di dalam lumpur (berada di dalam substrat), sedangkan epifauna
adalah kelompok makrozoobentos yang menempel di permukaan dasar perairan (Firstyananda,
2011).
Perifiton merupakan gabungan beberapa ganggang,
cyanobacteria, mikroba heterotrofik, dan detritus yang melekat pada permukaan
batuan, kayu dan tanaman serta hewan air yang terendam pada ekosistem perairan.
Perifiton di perairan mengalir pada umumnya terdiri dari diatom
(Bacillariophyceae), alga hijau berfilamen (Chlorophyceae), bakteri atau jamur
berfilamen, protozoa, dan rotifera (tidak banyak pada perairan tidak tercemar),
serta beberapa jenis benthos. Komunitas pembentukan perifiton yang ada pada
substrat (Odum, 1994).
Kualitas kehidupan di dalam air sangat dipengaruhi
oleh kualitas perairan sebagai media hidup organisme. Makin buruk kualitas suatu perairan, makin
buruk pula kualitas kehidupan di dalam perairan tersebut. Ini berarti bahwa
komunitas organisme di perairan tidak tercemar berbeda dengan di perairan
tercemar. Untuk mengetahuinya dapat digunakan indikator biologis. Terdapat
beberapa kelompok organisme yang dapat digunakan sebagai indikator pencemaran
perairan salah satunya adalah makrozoobentos (Soegianto, 2004).
Hewan bentos hidup relatif menetap sehingga dapat
digunakan sebagai petunjuk kualitas lingkungan karena selalu kontak dengan
limbah yang masuk ke habitatnya. Kelompok hewan tersebut dapat lebih
mencerminkan adanya perubahan faktor-faktor lingkungan dari waktu ke waktu
karena hewan bentos terus menerus berada dalam air yang kualitasnya
berubah-ubah. Selain itu, makrozoobentos dapat bersifat toleran maupun bersifat
sensitif terhadap perubahan lingkungan. Organisme yang memiliki kisaran
toleransi yang luas akan memiliki penyebaran yang luas juga. Sebaliknya organisme yang kisaran toleransinya sempit
(sensitif), maka penyebarannya juga sempit. Makrozoobentos yang memiliki
toleran lebih tinggi, tingkat kelangsungan hidupnya akan semakin tinggi. Oleh
karena itu, tingkat pencemaran suatu perairan dapat dilihat dengan
keanekaragaman dan kelimpahan
makrozoobenthos yang terdapat di wilayah tersebut (Purnomo, 2013).
Keberadaan hewan akuatik seperti hewan bentos dapat
digunakan sebagai parameter biologi dalam pemantauan kualitas air sungai secara
kontinyu, karena hewan bentos dapat menghabiskan seluruh hidupnya di lingkungan
tersebut. Menurut Soegianto (1990) Dalam
memantau kualitas air sungai secara biologi, idealnya melibatkan seluruh
komunitas (full community) yang melibatkan seluruh taksa yang ada pada tingkat
tropik (tropic lavel) yang berbeda, namun hal ini sangat sulit dilakukan
sehingga dalam prakteknya digunakan kelompok tunggal (single group) seperti
makroinvertebrata bentik. Sedangkan penggunaan parameter fisika dan kimia hanya
akan memberikan gambaran kualitas lingkungan sesaat dan cenderung memberikan interpretasi
dan kisaran yang lebar (Firstyananda, 2011).
Cairns et al (1971)
mengembangkan suatu metode yang sederhana, tetapi cukup bak untuk mengestimasi
keanekaragaman biologis secara relatif, yang disebut” Squential Comparison
Index” atau disingkat dengan S.C.I (Persoone & De Pauw, 1978). Indeks keanekaragaman ini dlam bahasa Indonesia
disebut INdeks Perbandingan Sekuensial (I.P.S). Menurut ahli tersebut di atas
bahwa indeks ini dapat memenuhi keprluan untuk menilai secara cepat akibat
adanya pencemaran terhadap ekosistem, misalnya sungai, kolam danau, dan laut.
Cara ini tidak memerlukan keterampilan untuk mengidentifikasi hewan-hewan dalam
komunitas, sehingga dapat menghemat waktu dan pekerjaan (Umar, 2013).
Kestabilan
ekosistem perairan berarti kemampuan ekosistem tersebut mempertahankan
keseimbangannya dalam menghadapi perubahan atau guncangan yang disebabkan oleh
pengaruh dari luar. Suatu ekosistem perairan dengan tingkat keseimbangan
yang bersifat fluktuatif akan memberikan dampak yang cukup nyata bagi kehidupan
yang berada di dalamnya, sehingga dengan sendirinya akan menjadi suatu tempat
yang tidak kondusif bagi organisme yang hidup di dalam ekosistem perairan
tersebut (Umar, 2010).
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN
III.1 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam percobaan ini yaitu botol
sampel, eickman crab, ayakan, baskom, baki plastik, pinset.
III.2 Bahan
Bahan-bahan
yang digunakan dalam percobaan ini yaitu alkohol 70 %, bentos dan udang.
III.3 Cara Kerja
Ada
beberapa prosedur yang dilakukan dalam percobaan ini, yaitu :
A.
Pengambilan Sampel Menggunakan Eickman Grab
1.
Kedua belahan pengeruk Eickman Grab di buka hingga terbuka
lebar dan kaitkan kawat penahannya pada tempat kaitan yang terdapat pada bagian
atas alat tersebut.
2.
Pengeruk di masukkan secara vertikal dan perlahan-lahan ke
dalam air hingga menyentuh dasar perairan.
3.
Kemudian jatuhkan logam pembeban sepanjang tali pemegangnya
sehingga kedua belahan Eickman Crab tertutup, dan lumpur serta hewan yang terdapat
di dasar perairan akan terhimpun dalam kerukan.
4.
Eickman di tarik perlahan-lahan ke atas dan isinya
ditumpahkan ke dalam baskom yang sudah disediakan.
5. Sampah-sampah dari kerukan
tersebut dibuang kemudian hewan bentos
diseleksi dengan cermat dan memasukkan ke
dalam botol sampel yang berisi alkohol 70%
6. Pengambilan sampel dilakukan sekali lagi
pada tempat yan berbeda
B.
Pengambilan Sampel Menggunakan Ayakan
1.
Pengambilan
bentos dilakukan dengan ayakan.
2.
Ayakan dimasukkan sampai ke dalam dasar perairan.
3.
Angkat ayakan
dan lumpur dipisahkan dengan bentos kemudian masukkan
bentos ke dalam botol.
4.
Pengambilan
sampel dilakukan sekali lagi pada tempat yang berbeda
5.
Beri label pada masing-masing botol sampel dan
diberikan alkohol 70%.
C.
Cara kerja di Laboratorium
1.
Ambillah sampel yang sudah diawetkan. Tumpahkan ke dalam
wadah yang telah disediakan dan secara acak diambil satu per satu dengan pinset
dan diletakkan pada wadah yang lain sambil diurutkan.
2.
Sampel yang diurutkan dibandingkan mulai dari angka A, B, C,
D dan seterusnya, kemudian dilihat apakah sejenis atau tidak.
3.
Pengamatan dilakukan diatas meja. Jenis yang dianggap sama
diberi kode yang sama dan ini berarti tergolong se”Run”. Hal ini dilakukan
tidak peduli jenis apapun, asal serangkaian sampel tadi dianggap sama.
4.
Lakukan pengamatan sampai semua sampel habis, catat semua
data dalam buku kerja, kemudian dilakukan perhitungan indeks keanekaragaman
bentos.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. 1 Hasil
IV. 1. 1 Data Hasil Pengamatan
a. Hasil pengamatan bentos dengan menggunakan Eickman Grab
Tabel 1. Hasil pengamatan bentos
dengan menggunakan Eickman Grab
Urutan Spesimen
|
AA B C A BBBBBB AA C
BBB C B A B A BB A B
A B AA BB A B D B A
D A B A BBBB AAA BBBBBBBBBB A
BBBB A BBBBBB AAA BBBBB A BBBB
AA B A C A BBBBBB C B
A B D B D
A C BBBB C BBBBB A BBBBB A
BBBBBBBB C BB
|
b.
Hasil Pengamatan Bentos dengan Menggunakan Ayakan
Tabel 2. Hasil Pengamatan Bentos dengan Menggunakan Ayakan
Urutan Spesimen
|
A B
C D A
|
c.
Derajat Pencemaran
Tabel 3. Derajat Pencemaran
Derajat Pencemaran
|
Diversitas Komunitas (S.C.I)
|
Belum tercemar
Tercemar ringan
Tercemar sedang
Tercemar berat
|
> 2
2,0 - 1,6
1,5 - 1,0
< 1
|
IV. 2
Analisis Data
a.
Nilai Indeks Perbandingan Dengan Satuan (IPS) Eickman Grab
Dik : spesimen = 132
Jumlah run = 64
Jumlah taksa = 4
IPS
=
=
= 1,939 (Tercemar
ringan)
Jadi, Nilai indeks perbandingan
sekuensial menggunakan eickman grab yaitu
1, 939 yang menunjukkan bahwa perairan tersebut tercemar ringan.
b. Nilai Indeks
Perbandingan Dengan Satuan (IPS) Eickman Grab
Dik : Jumlah spesimen = 5
Jumlah Run = 5
Jumlah Taksa =
4
IPS =
=
=
4 (Belum
tercemar)
Jadi, Nilai indeks perbandingan
sekuensial menggunakan ayakan yaitu 4 yang menunjukkan bahwa perairan tersebut belum
tercemar.
IV.3
Pembahasan
Pada percobaan keanekaragaman bentos, kami
menggunakan 2 alat yaitu Eickman grab
dan ayakan. Pengambilan sampel untuk kedua alat dilakukan masing-masing
sebanyak 2 kali. Pada penggunaan alat Eickman
grab, cukup dengan mengaitkan bagian pengait pada bagian atas Eickman grab. Lalu mengangkat beban agar tidak menyentuh bagian atas Eickman grab, selanjutnya Eickman grab di turunkan secara vertikal
ke dalam air hingga bagian bawahnya menyentuh dasar perairan. Tunggu beberapa
saat hingga terasa cukup lalu lepaskan beban, maka akan secara otomatis mulut Eickman grab akan tertutup dan mengeruk
organisme-organisme beserta lumpur, selanjutnya angkat Eickman grab.
Pada penggunaan ayakan atau mess, kita hanya mengeruk tanah dari
dasar perairan dengan menyelam. Lalu mengangkat ayakan dan membersihkannya dari
lumpur ( di ayak) kemudian menghitung organisme-organisme yang tersaring.
Dari hasil analisis data, dapat diketahui bahwa pengambilan sampel dengan
menggunakan Eickman grab (di sekitr danau Unhas) memiliki indeks perbandingan sekuensial sebesar 1,939. Hal ini menunjukkan bahwa pada daerah pengambilan sampel tergolong tercemar ringan, sedangkan indeks
perbandingan sekuensial dengan pengambilan
sampel menggunakan ayakan yaitu sebesar 4. Hal ini menunjukkan bahwa pada daerah pengambilan sampel tergolong belum tercemar.
Terdapat perbedaan nilai IPS dengan menggunakan ayakan dan eickman grab disebabkan karena pada pengambilan menggunakan ayakan
dilakukan pada tepi danau, sedangkan pengambilan sampel menggunakan eickman
grab dilakukan di tengah-tengah danau.
Bentos yang ada di dasar perairan dapat dijadikan sebagai indikator
pencemaran. Semakin banyak bentos yang hidup di dasar perairan, berarti tingkat
pencemarannya juga semakin rendah. Bentos
sering dijadikan uji parameter terhadap permasalahan lingkungan seperti
pencemaran, sebab jenis biota laut tersebut hidup di dasar laut dan cenderung
sangat lambat pergerakannya dibandingkan jenis lainnya seperti ikan. Disamping
itu bentos sangat sensitif dan peka terhadap suatu perubahan dalam air.
BAB V
PENUTUP
V.I
Kesimpulan
Dari
hasil percobaan dapat ditarik kesimpulan yaitu
1. Nilai Indeks
Perbandingan Sekuensial yang menggunakan Eickman
grab ialah 1,939 dengan tingkat pencemaran ringan. Sedangkan dengan
menggunakan ayakan memiliki nilai IPS ialah 4 dengan tingkat pencemaran yang
belum tercemar.
2. Percobaan
ini menggunakan dua jenis alat yaitu, ayakan (mess) dan Eickman grab.
V. 2 Saran
Sebaiknya dalam pengambilan sampel
alat yang digunakan diperbanyak lagi sehingga tidak saling menunggu untuk
menggunakan alat, terutama
alat Eickman grab.
DAFTAR PUSTAKA
Awaluddin, 1999.
Pola Penyebaran Makrozoobenthos Kelas Pelecypoda dan Gastropoda pada
Pantai Abrasi dan Akresi di Pantai Barat Pulau Selayar,
Sulawesi Selatan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Firstyananda,
Prima, 2011. Komposisi dan Keanekaragaman Makrozoobentos di Tiga
Lokasi Aliran Sungai Sumber
Kuluhan Jabung, Kabupaten
Magetan. Universitas Airlangga,
Surabaya.
Odum, E. P., 1994. Dasar-dasar Ekologi Edisi Ketiga. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Purnomo, Tarzan, 2013. Kualitas
Perairan Estuari Porong Sidoarjo Jawa Timur Berdasarkan
Indeks Keanekaragaman Makrozoobentos. LenteraBio. 2(1). 81–85. Lipi, Bogor.
Rahma, Yulia,
2006. Keanekaragaman dan
Kemelimpahan Makrozoobentos di Hutan
Mangrove Hasil Rehabilitas Taman Hutan Raya Ngurah Rai Bali. Biodiversitas. 7(1). 67-72. Lipi, Bogor..
Setiadi, D, 1989.
Dasar-dasar
Ekologi. Pusat Antar Ilmu Hayat, Institut
Pertanian Bogor.
Soegianto,
Agoes, 2004. Metode pendugaan pencemaran perairan dengan indikator biologis. Airlangga
University Press, Surabaya.
Umar, M. R., 2010. Ekologi Umum. Universitas
Hasanuddin, Makassar.
Umar,
M. R., 2013. Penuntun Praktikum Ekologi
Umum. Universitas Hasanuddin, Makassar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar